Tau atau Tidak, Ternyata Tidak Membuat Saya Siap

Begitulah kutipan untuk menutup video, yang berhasil membuat hati saya pilu, yang tertaut pada cuitan Twitter di atas. 

* * *

Assalamulaikum.

Meski saya sudah lelah dengan pandemi ini, meski sudah juga membisukan semua kata terkait covid di akun Twitter, tetap saja saya ditakdirkan untuk menonton video di atas. Saya termasuk yang berkeyakinan bahwa Allah selalu menyelipkan pesan-pesan di setiap takdir-Nya. Dan kali ini, video tersebut menjadi salah satu medianya.

Oh kalau kamu belum menonton videonya, kamu bisa klik tautan di atas. Atau kalau ngga sempat menontonnya, saya ceritakan saja ya.

Dalam video itu, terekam beberapa orang turun dari ambulans, lengkap masih memakai alat pelindung diri. Mereka sedang membawa peti mati berwarna putih, yang mungkin saja aktivitas ini sudah menjadi agendanya sehari-hari belakangan ini. Meski dari sini saja sudah menyedihkan, tapi ceritanya belum selesai.

Jenazah tersebut ngga berpulang sendiri, ada yang mengantarnya. Salah satunya seorang wanita yang terduduk lemas sambil beberapa kali tangannya terlihat menutup mukanya. Bukan karena panas matahari siang itu, tapi karena dia berusaha membendung air matanya. Air mata yang hanya bisa mengantar dari kejauhan kepulangan malaikat kecil yang belum genap dua tahun.

Barangkali asumsi saya benar, bahwa wanita itu adalah ibunya, jangankan memegang wajahnya terakhir kali, memegang petinya saja mungkin sudah menjadi keinginan terbesar dia saat itu.

Dear adek kecil, karena kita punya Allah yang baiknya luar biasa, saya berharap semoga ibumu bisa kembali memegang wajahmu, ya, selama apapun yang ibumu ingin. Semoga ibumu bisa melihat kamu bertumbuh lagi, agar beliau bisa merasakan bahagianya mengantarmu sekolah, ke tempat mengaji, dan pelaminan. Semoga Allah kembali mempertemukan kalian di surga-Nya. Aamiin.

* * *

Begitulah ceritanya. Maaf ya, dengan tulisan ini saya jadi menambah lembar cerita sedih di masa pandemi ini ke kamu, yang mungkin saja kamu sudah berusaha untuk menutup diri agar lembaran tersebut ngga bertambah—sama seperti yang saya lakukan. Sebagai gantinya, saya doakan agar kamu sekeluarga bisa bertahan dan selalu dalam lindungan Allah, ya, Aamiin.

Ngomong-ngomong, tentu saja melalui video tersebut lagi-lagi kita diingatkan Allah perihal kematian. Sesuatu yang entah kapan terjadi, entah terjadi di mana, dan entah bagaimana. Tapi bisa jadi saya sudah kebal dengan pengingat semacam ini, makanya Allah mengingatkan dengan cara yang sedikit berbeda.

Video tersebut lebih mengingatkan saya tentang momen (hampir) kehilangan beberapa hari lalu. Momen yang mungkin saja menjadi pertama kalinya saya merasakan kehilangan yang begitu dalam.

Jadi, beberapa hari lalu saya begitu senang karena keponakan saya menginap di rumah, bersama kakak saya dan istrinya. Rencananya mereka akan pulang di Hari Minggu. Tapi ternyata pada Kamis menjelang magrib, istri kakak saya menerima telepon bahwa bapaknya harus segera dirawat di rumah sakit sehingga mereka pulang pada hari itu juga.

Saya sekeluarga khawatir, dan semakin khawatir setelah mendengar kabar dari kakak bahwa ternyata bapak mertuanya dimungkinkan terkena covid. Karena kakak saya yang membantu keperluan di rumah sakit, saya menyarankan supaya dia isolasi diri, menjaga jarak dengan istri dan anak-anaknya, sambil menunggu hasil tes keluar. Tapi karena beberapa hal, salah satunya kehadiran dia yang sangat dinantikan anaknya, dia jadi tidak melakukan isolasi dan berusaha menenangkan saya dan keluarga.

Di satu sisi saya berusaha memahami, karena toh dia sudah dewasa dan mengerti dampak dari covid, pun jika lengah kalau ngga menjaga jarak. Tapi di sisi lain, tetap saja ini membuat saya jadi kepikiran dan khawatir berlebih. Hal terburuk yang saya pikirkan, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bisa jadi momen itu akan menjadi momen kehilangan terdalam pertama kali di hidup saya.

Berdoa sudah jelas saya lakukan. Tapi kalau memang sudah waktunya mereka, atau beberapa dari mereka berpulang, doa saya jelas ngga bisa menangguhkannya. Jadi saya hanya bisa berserah.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian akhirnya saya mendengar kabar yang cukup melegakan. Meski bapak mertua kakak saya belum sembuh total, alhamdulillah beliau tidak terkena covid. Kakak beserta istri dan anak-anaknya, keponakan saya, sampai hari ini juga masih sehat.

Dari kejadian ini saya jadi sadar bahwa meskipun saya sudah tau akan kemungkinan datangnya kehilangan, dari asumsi saya tentunya—karena pengetahuan itu hanya Allah yang tau, saya ternyata tetep ngga siap menghadapi kehilangan tersebut.

Mungkin karena hal terberat dari kehilangan adalah membiasakan diri dengan kondisi yang nggak akan pernah lagi sama. Seakan dipaksa merasakan apa yang ngga siap untuk dirasakan. Atau mungkin juga ngga akan pernah siap. Siapa juga yang mau kehilangan orang-orang tersayang?

Saya belum bisa membayangkannya sih. Memikirkannya saja membuat saya sedih. Makanya hati saya jadi ikut berantakan melihat video di atas. Ditinggal saja sudah sesedih itu, apalagi ditinggal dalam kondisi pandemi. Yang untuk menyolatkan butuh protokol ini itu, dan mengantar pun tanpa bisa menabur bunga.

Padahal saya sadar betul kembali adalah salah satu perkara yang sudah pasti terjadi. Entah siapa yang meninggalkan atau yang ditinggalkan. Saya sama-sama ngga siap.

Ah benar juga. Barangkali ketidaksiapan saya untuk ditinggalkan ini adalah cerminan dari ketidaksiapan saya juga untuk meninggalkan, ya. Jadi teringat, udah seberapa banyak penghasilan amal saleh yang bisa saya bawa pulang? Sudah seberapa tebal catatan dosa yang siap saya pertanggungjawabkan? 😦 Dasar! Sudah-sudah, jawab dalam hati saja.

Leave a comment